Selasa, 19 Oktober 2010

clubbing,

Clubbing, sebuah kata kerja yang berasal dari kata Club, yang berarti pergi ke klub-klub pada akhir pekan untuk mendengarkan musik (biasanya bukan musik hidup) di akhir pekan untuk melepaskan kepenatan dan semua beban ritual sehari-hari. Di Indonesia, clubbing sering juga disebut dugem, dunia gemerlap, karena tidak lepas dari kilatan lampu disko yang gemerlap dan dentuman music techno yang dimainkan oleh para DJ handal yang terkadang datang dari luar negeri.
Clubbing tidaklah merupakan hal yang meresahkan sampai kita mendengar istilah-istilah “tripping 100 jam”, “pump up your sex with ecstasy”, sampai “get the best your orgasm with ecstasy”. Kita tidak akan membicarakan para junkie atau pecandu putaw yang nyolong dan malak karena gak punya duit saat sakaw (karena secara fisik ecstasy tidaklah bersifat adiksi) atau para pelacur jalanan yang terpaksa melacur karena kebutuhan ekonomi. Yang akan kita bahas adalah para eksekutif yang secara materi tidak pernah kekurang tapi selalu menghabiskan akhir pekan mulai dari jumat malam sampai senin pagi di lantai diskotik, juga para wanita mulai dari ibu-ibu sampai anak sekolah yang asyik gedek-gedek dan dengan santainya melakukan one night stand (aktifitas seks sekali pakai dan terlupakan).
Para clubbers (sebutan orang yang suka clubbing) berasal dari berbagai macam tingkatan sosial mulai dari tukang parkir, eksekutif, oknum kepolisian dan TNI, pelajar biasa, sampai ibu-ibu rumah tangga. Usinya pun beragam mulai dari remaja belasan tahun sampai kakek-kakek yang sudah bau tanah.

Saya tak akan pernah membahas hal ini jika para clubbers itu merasa bahwa tindakan mereka adalah sebuah penyimpangan. Saya tertarik untuk mengangkat masalah ini lebih jauh karena para clubbers seakan tidak pernah merasa bersalah dengan apa yang mereka lakukan, bercerita dengan bangga, bahkan menganggap bahwa clubbing adalah sebuah kewajaran, trend, dan hanyalah cara penghilang kepenatan dari aktifitas harian mereka. Lebih jauh lagi, banyak yang secara terang-terangan membentuk komunitas tertentu yang kemudian mem-bisnis-kan clubbing ini dengan menjadi promotor yang menggelar Rave Party berskala besar (ada yang tahunan bahkan bulanan) dengan mendatangkan DJ kelas dunia dari luar negeri yang pada akhirnya mendatangkan rupiah dalam jumlah besar yang terus mereka gunakan untuk “kesenangan-kesenangan” mereka dalam dunia gemerlap. Beberapa media cetak yang seharusnya bersikap netral dan berfungsi sebagai potret dari realitas sosial malahan memuat artikel-artikel yang menjurus dan memancing para pembacanya untuk mencicipi dunia gemerlap tersebut dengan mengagung-agungkan motto P.LU.R, Peace, Love, Unity, and Respect

http://indonesiancommunity.multiply.com/journal/item/1269

Tidak ada komentar:

Posting Komentar